Wacana rektor dipilih presiden, medagri dikritik



Jakarta, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan penentuan pemimpin di perguruan tinggi negeri atau rektor kini diharuskan dipilih presiden. Menurut Tjahjo, hal itu dilatarbelakangi oleh tanggung jawab rektor dalam proses penyeragaman.
"Penentuan rektor ya selama ini oleh Dikti, hasil komunikasi kami dengan Mensesneg dengan bapak Presiden, Pak Mendikti, saya kira terakhir (penentuannya) harus dari bapak presiden," kata Tjahjo di kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (1/6/2017), sebagaimana dikutip dari Detik.com.
Menurutnya, juga karena kekhawatiran adanya ideologi selain Pancasila yang menyusup dalam perguruan tinggi.
Tjahjo menjelaskan, alasan utama di balik keputusan ini karena ditemukan kasus calon rektor di sebuah perguruan tinggi merupakan simpatisan ISIS.
"Ada seorang dekan yang sudah mau jadi pimpinan perguruan tinggi. Pada saat mau pelantikan, baru ketahuan bahwa dia adalah penganut ISIS. Itu yang disampaikan oleh menristek dikti pada saat itu," ujar Tjahjo usai memimpin upacara di Kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (1/6/2017), dikutip dari Sindonews.com.
Selain itu, hal ini ditempuh supaya keputusan apa pun yang menyangkut politik dan pembangunan bersifat utuh dari pusat hingga daerah. Sehingga, tercipta integrasi bangsa di semua lini.
Menanggapi wacana tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih mengatakan, sudah saatnya pemerintah memberikan urusan berdemokrasi pemilihan rektor tersebut ke internal perguruan tinggi.
“Mestinya, pemerintah semakin menyerahkan urusan seperti ini ke internal perguruan tinggi. Beri kepercayaan perguruan tinggi agar lebih mandiri, dan agar bisa terus mengkonsolidasikan kehidupan demokrasi di kampus. Tidak hanya pada tataran teori, namun menjadi ajang untuk menerapkan ilmu mereka,” jelas Fikri dalam rilis yang diterima Parlememntaria pada Jumat, (02/06/2017), dikutip dari Tribunnews.com.
Sedangkan, Pengamat pendidikan Indra Charismiaji mengatakan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo tidak tepat  menyarankan perubahan sistem pemilihan rektor. Indra mengatakan, itu merupakan dasar yang harus diketahui masyarakat atas pendapat yang diungkapkan Menteri Tjahjo Kumolo tersebut.
"Itu pertanyaan besar yang pasti dipikirkan semua orang ketika mengetahui adanya pernyataan dari Mendagri tersebut," ujar Indra, dikutip dari Metrotvnews.com.
Dikatakan Indra, dalam sistem pemilihan rektor memang merupakan hal yang harus terus diubah untuk mendapatkan perbaikan seiring waktu. Namun, akan menjadi hal yang tidak efektif dan cenderung tidak masuk akal bila keputusan dilakukan presiden.
"Kalau ditunjuk oleh presiden, lalu untuk apa ada kementerian. Sementara presiden memiliki tugas yang sudah sangat banyak. Akan butuh waktu sangat panjang mengingat jumlah PTN (perguruan tinggi negeri) di Indonesia juga tidak sedikit," ujar Indra.
Bila tujuan pemilihan oleh presiden untuk menghindari masuknya paham-paham non Pancasila, tindakan pemilihan rektor sebagai patokan bukan hal tepat. Upaya menghindari adanya tokoh non-pascasilais harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya pada sosok rektor.
"Kalau memang mau menghentikan paham radikalisme, yang harus dibenahi bukan dari institusi pendidikan, tapi harus dari undang-undangnya dahulu. Pemerintah harus fokus secara menyeluruh. Begitupun di pendidikan tidak cukup dengan hanya berpatokan ke rektor," ujar Indra.
Sedangkan, Pengamat politik dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Arif Susanto menilai, maraknya ideologi radikalisme tidak bisa dijadikan alasan pemerintah untuk mengintervensi pemilihan rektor Universitas Tinggi. Apalagi, menurutnya intervensi tersebut bisa berdampak pada pelemahan kemerdekaan berekspresi di kampus.
"Pembatasan ide radikal dalam kampus tidak patut dijadikan alasan intervensi pemerintah terhadap pemilihan rektor, yang dapat berdampak pada pelemahan kemerdekaan berekspresi di kampus sendiri," kata Arif saat dihubungi Republika, Jumat (2/6), dikutip dari Republika.co.id.
Menurut Arif, pembatasan ide radikal tersebut justru jauh lebih efektif dilakukan lewat penyebarluasan gagasan demokrasi inklusif, yang selama ini menjadi spirit kehidupan kenegaraan Indonesia. Selain itu, kontekstualisasi isi Pancasila sesuai situasi zaman juga berkontribusi penting bagi terbangunnya solidaritas sosial, sehingga paham radikalisme bisa dibatasi.

"Pembatasan paham radikal jauh lebih efektif dilakukan lewat penyebarluasan gagasan demokrasi inklusif, yang selama ini menjadi spirit kehidupan kenegaraan kita. Kontekstualisasi isi Pancasila sesuai situasi zaman juga berkontribusi penting bagi terbangunnya solidaritas sosial," jelas Arif.

Posting Komentar

0 Komentar